Loading, please wait...
Mansion Sports - Andrea Pirlo mungkin sudah lama gantung sepatu, tapi kenangan tentang masa-masanya bersama AC Milan tetap hidup di hati para fans dan dirinya sendiri.
Dalam sebuah wawancara santai usai bermain di laga amal Milan Legends vs Tottenham Hotspur di London, maestro lini tengah ini mengulas kembali satu dekade penuh kenangan—dari trofi bergengsi hingga keputusan pahit yang bukan datang dari dirinya.
Pirlo kembali mengenakan seragam Rossoneri di laga amal, dan seperti yang bisa ditebak, dia masih punya sentuhan ajaib itu. Sebuah tendangan bebas khas Pirlo meluncur mulus ke gawang Tottenham Legends—seolah waktu tak pernah berjalan.
“Itu bikin banyak memori bermunculan,” ujar Pirlo usai pertandingan. Tak heran, karena dari 2001 hingga 2011, ia menjadi bagian dari generasi emas Milan yang mendominasi Eropa.
Baca Juga: "Milan Konfirmasi Kyle Walker akan Operasi Akibat Cedera Siku"
Pirlo mengenang Final Liga Champions pertama yang ia menangkan bersama Milan di Old Trafford, Manchester, tahun 2003. “Itu yang paling spesial,” katanya. “Karena jadi titik awal era kejayaan kami. Buat banyak dari kami, itu trofi pertama yang paling diimpikan.”
Namun, bukan Pirlo namanya kalau tak bicara dengan jujur—dan itu termasuk mengungkap penyesalan.
Salah satu momen paling pahit adalah Final Liga Champions 2005 di Istanbul. Milan unggul 3-0 di babak pertama, hanya untuk disamakan Liverpool dalam enam menit luar biasa, lalu kalah lewat adu penalti.
“Kami main bagus banget malam itu, tapi hasilnya bikin patah hati,” kenangnya. “Kalau dilihat dari semua yang kami capai, harusnya kami bisa menang lebih banyak.”
Dua tahun setelah trauma Istanbul, Milan dapat kesempatan emas membalas dendam. Di Final Liga Champions 2007, mereka kembali bertemu Liverpool—dan kali ini, Rossoneri menang 2-1.
“Kayak ada yang ngatur dari atas deh. Rasanya itu bentuk penyeimbang dari kejadian sebelumnya,” ucap Pirlo dengan senyum. Meski permainan tak secemerlang 2005, kemenangan ini menebus luka lama.
Meski sukses besar dan menjadi idola fans San Siro, Pirlo justru dilepas Milan secara gratis di tahun 2011. Ia tidak diberi perpanjangan kontrak, meskipun merasa masih bisa memberikan banyak untuk klub.
“Saya sebenarnya pengen banget tetap di Milan,” ungkapnya. “Saya besar di sana, jadi pria dewasa di klub itu. Tapi, keputusan bukan ada di tangan saya.”
Ia menyebut pelatih saat itu, Max Allegri, dan direktur klub Adriano Galliani sebagai pihak yang tak membuka jalan baginya untuk bertahan.
“Banyak yang masih nggak ngerti bahwa saya bukan yang minta pergi. Itu bukan keputusan saya, dan jujur, itu salah satu momen paling sedih dalam hidup saya—saat saya harus bilang ke teman-teman di ruang ganti kalau saya bakal cabut.”
Meski kariernya lanjut sukses di Juventus dan bahkan sempat main di New York City FC, Milan tetap punya tempat spesial di hati Pirlo. Bukan hanya karena trofi, tapi karena hubungan yang ia bangun.
“Saya masih sahabatan sama banyak mantan rekan setim di sana. Kita bahkan masih sering liburan bareng,” katanya dengan hangat. “Dari semua hal di Milan, persahabatan itu yang paling berharga buat saya.”
Selama 10 tahun membela AC Milan, Pirlo mencatatkan 401 penampilan kompetitif, mencetak 41 gol, dan memberikan 71 assist—angka yang luar biasa untuk gelandang tengah. Ia turut membawa Milan meraih dua gelar Serie A, dua Liga Champions, satu Piala Interkontinental, dua UEFA Super Cup, satu Coppa Italia, dan satu Supercoppa Italiana.
Itu bukan sekadar statistik. Itu adalah bukti bahwa Pirlo bukan hanya bagian dari sejarah Milan—ia adalah legenda sejati.